Laman

Rabu, 22 Februari 2012

Hari Itu

Aku masih ingat betul saat itul. Hari minggu jam setengah empat, aku berjalan dari rumahku di Tlogosari menuju Johar dengan berjalan kaki. Aku terus berjalan membawa tas yang berisi laptop, memang berat, tapi sudah menjadi suatu kesenangan sendiri bagiku untuk mendapatkan kesehatan, dan dapat memperhatikan lingkunganku dengan teliti.

Ketika aku sudah mencapai tujuanku, tepatnya di jembatan berok, aku menunggu bis yang menuju kota Ambarawa. Kalau tidak salah, aku tiba sekitar jam setengah lima. Disitu, aku terus memperhatikan desain arsitektur Kota Lama di Semarang. Memang terlihat seperti aslinya dengan pemugaran. Yang membuatku kagum adalah Gereja Blenduk di Kota Lama dan desain lampu di jembatan Berok. Aku membayangkan, bagaimana arsitektur ini dibuat, dan pertempuran yang ada di Semarang selama masa penjajahan dan kehidupan setelahnya. Aku berjongkok, kemudian terus melihat desain lampu itu. Hingga aku merasa haus. Aku kemudian mencari uang di tas, aku sempat panik karena tidak ada uang sama sekali di tasku. Ternyata setelah kucari-cari ada di saku bagian kananku. Mungkin kalian heran kenapa aku tidak memakai dompet untuk meletakkan uang. Sebenarnya, aku paling benci dompet, karena hilang satu berarti hilang semua.

Aku melihat sekitar mencari warung, dan setelah aku melihat warung, aku menghampiri warung itu. Beberapa langkah, ada yang memanggilku dengan siulannya. aku menoleh kearah siulan itu. Ternyata dia adalah seorang waria, aku melihat kemudian dia memanggilku dengan lambaian tangannya supaya aku mendekatinya. Aku menolak panggilan itu dengan isyarat tangan. Sebenarnya aku memang butuh teman untuk berbincang-bincang, tapi tidak dengan waria.

Aku heran, bagaimana dengan masa lalu mereka. Kenapa mereka bisa menjadi waria dan memilih pekerjaan seperti itu. Bagaimana mereka mendapatkan uang, bagaimana mereka hidup, dan bagaimana mereka menghadapi keluarga mereka yang pastinya menanggung malu mendapati anaknya bekerja sebagai waria. Atau mereka yang membenci takdir karena dilahirkan sebagai laki-laki dan bukan seorang perempuan.

Setelah aku membeli sebotol air minum, aku meneguk dan kembali ketempat dimana aku menanti bis. Aku pun dipanggil lagi supaya aku menemaninya, aku pun langsung bicara dari jauh,
"Aku menunggu bis."
Dia diam, dan mungkin tahu aku tidak mau bicara dengannya. aku terus melihat ke arah kanan, beberapa saat ada bis kecil yang menuju ke arah salatiga. Aku menaiki bis itu karena aku tahu, tempat itu adalah daerah rawan dimana para preman pasti ada ditempat itu, bukan hanya waria saja. Aku bersyukur karena sudah pergi dari tempat itu.

Masih pagi, aku lihat jam lima. Aku tidak sabar untuk pergi ke Ambarawa kemudian naik ke Bandungan untuk bertemu orang yang aku cinta. Dimana aku sudah berjanji tidak akan meninggalkannya dan selalu bersamanya. Selama di bis, aku memperhatikan beberapa penumpang selain aku. Dilihat dari barang bawaan dan penampilan mereka, aku memperkirakan mereka adalah pedagang, karyawan tekstil, dan tidak lupa seorang waria. Mungkin waria itu menuju ke Salatiga dan aku sangat yakin akan hal itu. Mengantuk, ingin tidur di bis, tapi aku tidak bisa karena takut ada orang yang berniat jahat untuk mengambil uangku disaat aku lengah selama aku tidur. Kemudian ada orang yang naik, dan duduk di sebelahku, aku perhatikan memang tidak ada niat jahat, tapi aku terus berjaga diri. Sekitar setengah jam, kami mulai membayar biaya tumpangan, aku membayar uang pas, di sebelahku membayar selembar uang dua puluh ribu rupiah.
Tapi entah kenapa kondekturnya tidak mau memberi uang kembalian kepada orang yang disebelahku. Sehingga orang yang disebelahku bicara agak keras,
"mas, kembaliannya mana?"
Kondekturnya diam tidak memperhatikan atau memang tidak mau memberi uang kembalian aku tidak tahu. Orang yang disebelahku pun protes dan mulai bicara kepadaku untuk mengeluarkan rasa jengkelnya kepadaku. Walaupun pembicaraannya mengagetkan bagiku karena bukan itu yang aku harapkan, tapi setidaknya aku senang ada yang bisa aku ajak berbincang untuk menghabiskan waktu.

Aku pun mulai meredakan emosinya dengan cara membiarkan dia mengeluarkan semua emosinya supaya dia tenang. Lalu aku mengatakan siapa tahu kondekturnya itu bisa juga belum mempunyai uang kembalian yang pas, atau kondekturnya yang terlalu sibuk memberi uang kembalian karena kondekturnya terus berteriak untuk menarik penumpang. Kemudian orang itu pun mulai tenang, kemudian aku tawarkan minuman, dia pun menolak. Akhirnya setelah menempuh jarak yang agak jauh, kondektur pun memberi uang kembalian. Aku pun mulai tenang, setidaknya tidak ada lagi yang ribut.

 Setengah jam kemudian, aku tiba di terminal Bawen dan turun, aku sadar, tidak ada angkutan umum, untuk menuju ke Bandungan, maka aku berlari hingga pasar Ambarawa dan menemukan angkutan kuning. Aku pun naik dan tidak sabar lagi, apa yang dilakukan calon istriku, aku tahu dia pasti memasak, tapi masakan apa yang dia buat. Yang paling aku harapkan adalah, melihat dia senang karena aku ingin sekali dia selalu tersenyum untukku karena aku menemaninya sesuai permintaannya untuk datang kerumahnya hari itu pada saat pagi.

Setelah naik, aku turun di pasar Ngasem, kemudian berlari karena aku tidak sabar untuk menemui calon istriku sendiri. Dari kejauhan, aku melihat seorang bocah, aku tahu bocah itu adalah keponakannya, aku berhenti dan melambaikan tanganku dari kejauhan. Entah dia tidak tahu atau masih malu, dia pergi. Kemudian aku berjalan, dan melihat ibu dari calon istriku memanggil bocah itu dengan membawa seledri. Ibunya pun melihatku dan bicara
"Kok gasik men tekone?" (Kok awal banget datangnya?)
"Nggih bu, dijalok mangkat gasik" (Iya bu, diminta berangkat awal banget)
Aku tersenyum, karena memang aku suka tersenyum. Karena dengan senyum bisa menularkan orang lain untuk ikut tersenyum.
Aku berjalan menuju rumahnya dan aku melihatnya, sungguh sangat cantik sekali. Ya Allah, aku bersyukur bersamanya. Calon Istriku...

Bersambung....

1 komentar:

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)