Laman

Jumat, 06 April 2012

Ragam Bahasa Jawa


1. Bahasa Jawa dialek Surabaya

Surabaya merupakan salah satu kota terpenting di Indonesia. Surabaya merupakan ibukota dari Propinsi Jawa Timur. Surabaya yang notabene merupakan kota pelabuhan banyak menerima pengaruh kebudayan dari luar. Sebagai kota pelabuhan Surabaya akan banyak dikunjungi oleh suku bangsa lain, yang berasal dari luar terutama. Namun tidak demikian, Surabaya tetap mendapatkan pengaruh lebih banyak dari pusat-pusat kebudayaan (Surakarta). Karena dilihat dalam bidang sintaksis, struktur kalimat bahasa Jawa dialek Surabaya tak jauh berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Perbedaannya hanya terletak pada bidang intonasi. Intonasi bahasa Jawa dialek Surabaya mirip dengan intonasi pemakai bahasa Madura dalam berbahasa Jawa. Hal ini tidak mengherankan, sebab di daerah Surabaya dan sekitarnya banyak tinggal orang Madura yang berbahasa Jawa. Intonasi bahasa Madura digunakanya untuk berbahasa Jawa, sehingga hal ini mempengaruhi bahasa Jawa. Intonasi ini kemudian diwariskan secara turun-temurun.[3]

Dalam hal itu, maka kebahasaan di Surabaya dapat dibedakan lagi menjadi:

1. Bahasa Jawa Baku (Bahasa Jawa Surakarta) yang berfungsi seperti Bahasa Jawa pada umumnya. Bahasa jawa baku ini digunakan sebagai bahsa pengantar di Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Pertama, dalam peraturan-peraturan resmi yang telah ditetapkan.

2. Bahasa Jawa dialek Surabaya, yang dipakai dalam keadaan yang bersifat informal, tak dinas, santai, akrab, bernada kekeluargaan, dan berlatar belakang kedaerahan.

2. Cakupan Wilayah Dialek Surabaya

Orang-orang yang memakai dialek Surabaya dapat disebut sebagai masyarakat Surabaya. Yang dimaksud dengan masyarakat Surabaya tidak terbatas pada kotamadya Surabaya. Tetapi cakupan wilayah masyarakat Surabaya meliputi daerah Gresik, Mojokerto, dan Sidoarjo. Di daerah ini, terutama di kampung-kampung atau di desa-desa, orang sering bercakap dengan bahasa Jawa krama, terutama anak muda pada orang tua atau orang yang dianggap tua, ataupun pada orang sebaya yang baru dikenalnya.

3. Bahasa Sebagai Tanda Status Sosial dan Penggunaannya

3.1 Bahasa Jawa Baku

Di dalam pergaulan-pergaulan hidup maupun perhubungan-perhubungan sosial sehari-hari mereka berbahasa Jawa. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini, seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan orang yang diajak berbicara atau yang sedang dibicarakan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Demikian pada prinsipnya ada dua macam bahasa Jawa apabila ditinjau dari kriteria tingkatannya. Yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama.

3.1.1 Bahasa Jawa Ngoko

Bahasa Jawa Ngoko merupakan bahasa apa adanya, tanpa adanya tujuan untuk memberikan penghoramatan. Bahasa Jawa Ngoko digunakan oleh:

1. Anak yang belum mengerti apa-apa (kanak-kanak)

2. Orang yang berbicara dengan orang seumurannya.

3. Orang tua yang berbicara dengan anak muda.

4. Pemimpin yang berbicara denagn bawahannya.

Dalam bahasa Jawa ngoko, masih dibagi lagi menjadi dua golongan, yaitu:

3.1.1.1 Ngoko lugu, adalah bahasa ngoko apa adanya, tanpa tercampur dengan bahasa Krama.

Contoh: Kowe mau numpak apa?

Bocah-bocah padha mlaku-mlaku.

3.1.1.2 Ngoko andhap, adalah bahsa ngoko ayng tercampur denagn bahsa krama.

Contoh: Sliramu mau nitih apa?

Sampeyan mau numpak apa?

Panjenengan mau nitih apa?

Pak Sastra ora sida tindak-tindak.

3.1.2 Bahasa Jawa Krama.

Bahasa Jawa Krama merupakan bahsa taklim atau bahasa yang digunakan untuk menghormati seseorang. Bahasa Jawa krama digunakan oleh:

1. Anak muda kepada orang yang lebih tua atau orang yang dianggap lebih tua.

2. Murid kepada guru

3. Anak kepada orang tuanya.

4. Bawahan kepada atasannya.

3.1.2.1 Wujud dari bahasa Jawa Krama adalah:

a. Wujud dari pembetulan bahsa Jawa Ngoko yang di-krama-kan, contohnya

Kurang

Dadi

Upama

Cedhak

Mau

Nganti

Kowe


——————-

———-

———-

———-

———-

———-


Kirang

Dados

Upami

Celak

Wau

Ngantos

Panjengengan

b. Wujud kata lain, namun artinya tetap atau kata yang berasal dari serapan bahasa asing, contohnya

Telu

Lima

omah


——————-

———-


Tiga

Gangsal

griya

c. Wujud kata yang sama dengan Jawa Ngoko, seperti; wani, pance, anyar, wulang, dsb. Kata-kata seprti itu disebut sebagai kata ”krama ngoko”.

d. Wujud kata yang boleh di-krama-kan atau tidak di-karama-kan, kata itu disebut ”krama wenang”, contohnya

Rokok/ses

Utama/utami

Ijen/piyambak

3.1.2.2 Bahasa Jawa Krama Inggil.

Bahasa Jawa krama inggil, tingkatan untuk menghormati lebih tinggi daripada bahas Jawa krama. Bahasa Jawa krama inggil disebut sebagai bahasa kurmat luhur. Kata-kata bahasa Jawa krama inggil tidak terlalu banyak, krama inggil hanya menjelaskan mengenai nama anggota badan, tempat, tindakan, keadaan, dan nama-nama barang yang sering digunakan oleh orang yang dihormati.

Contoh:

Ngoko


Krama


Krama Inggil


Arti

Njaluk

Kandha

Mlaku

Lunga

Kowe


Nyuwun

Matur

Mlampah

Kesah

Sampeyan


Mundhut

Dhawuh, ngendika

Tindak

Tindak

Panjengengan


Membeli

Berkata

Berjalan

Pergi

Kamu

Selain itu, bahasa Jawa yang telah diklarifikasinya dipergunakan juga tergantung pada tempat bahasa itu digunakan. Sepert bahasa Kedhaton atau bahasa Bagongan yang digunakan khusunya untuk kalangan istana; bahasa Jawa Krama Desa atau bahasa orang-orang di desa-desa; dan akhirnya bahasa Jawa Kasar yakni salah satu macam bahasa daerah yang diucapkan oleh orang-orang yang sedang dalam keadaan marah atau mengumpat seseorang.

3.2 Bahasa Jawa Dialek Surabaya.

Dalam bentuk morfologi, bahasa Jawa dialek Surabaya tidak mempunyai kekhususan yang berbeda dengan bahasa Jawa pada umumnya. Sistem imbuhan, ulangan dan kata majemuk umumnya tak berbeda dengan bahasa Jawa umum.

Dilihat dari segi fonetik, perbedaan fonetik antara bahsa Jawa dialek Surabaya dengan bahsa Jawa umum terletak pada perbedaan vokal dan konsonan. Misalnya kata pitek menjadi petek, irung menjadi erung, dhuwur menjadi dhukur, nyilih menjadi nyelang, siji menjadi sithuk, dan kari menjadi gari.

Daftar kata bahasa Jawa dialek Surabaya. Kata-kata itu seperti: arek, cacak, ndhuk, kon, pena, rika, embong, mene, nggone, montor muluk, praoto, kunci gombyok, diteleki, mumet, bahbah (e)na, temen, nedha nrima, dan lain-lain. Untuk mengingatkan pembaca jangan sekali-kali menggunakn kata gitik dan balon di Surabaya. Sebab kata gitik (digitik, nggitiki) berarti menyenggamai seorang wanita. Begitu pula kata balon, diartikan pelacur. Sebagai gantinya, sebaliknya menggunakn kata dop lampu atau plembungan.

Bahasa Jawa berdialek surabaya merupakn bahsa rakyat. Bila bahasa ini kini digunkan oleh para pegawai di kotamadya, gubernuran, di universitas (baik dosen atau mahasisiwa), dan lain-lain, karena anak-anak rakyat tersebut kini banyak yang menjadi pegawai negeri atau orang yang berpangkat.

Ciri bahasa rakyat ini antara lain ditandai dengan pemakaian kata-kata dancuk, damput, jangkrik, taek, simboke ancok, dobol, asu, matamu, e jaran, dan lain-lain, dalam pergaulan sehari-hari tanpa memandang pangkat, jabatan, maupun tempat. Kata-kata ini dalam bahasa Jawa umum dipandang orang sebagai kata-kata yang kasar atau kotor (saru), dan biasanya digunakan untuk memarahi seseorang atau ditujukan kepada orang yang dibenci, tapi dalam masyarakat Surabaya kata-kata ini digunakan dalam situasi penuh keakraban, terutama kata dancuk, diamput, dan jangkrik. Dikatakan penuh keakraban karena bila kata tersebut diucapkan seseorang terhadap orang lain (teman atau kenalan lama), maka yang dikenalinya tidak marah. Jadi sambil bersalaman, kata itu diucapkan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)