Ketika saya membaca salah satu artikel tentang Musashi milik Amelia Devina, saya teringat waktu kelas X SMA atau kelas 1 SMA yang sering mengendarai sepeda dari rumah menuju Perpustakaan Daerah (Perpusda), salah satu fasilitas yang disediakan pemerintah untuk masyarakat sejauh kurang lebih tiga kilometer untuk membaca berbagai buku yang disediakan dan meminjamnya yang menurutku itu menarik.
Saya sering membaca buku tentang komputer, jurnal ilmiah dan pengetahuan umum untuk menambah wawasan dan pantang membaca novel, karena waktu itu saya selalu menyimpulkan bahwa novel hanya membahas tentang cinta yang isinya mudah saya tebak saat melihat judul atau membaca beberapa halaman dan isinya tidak mendidik sama sekali.
Tapi ada satu kejadian yang membuat saya untuk membaca novel untuk pertama kalinya saat akhir tahun. Saat itu ada pemeriksaan setiap buku disetiap ruangan untuk memeriksa atau meminjam, melainkan hanya bisa mengembalikan buku. Kemudian saya menuju ke internet publik dengan harapan membaca berita dan melakukan kegiatan browsing yang lain untuk menutupi rasa kecewa karena tidak dapat membaca buku. Namun harapan itu sirna karena koneksi internet tersebut bermasalah sehingga saya merasa lebih kecewa dari sebelumnya.
“Jam delapan pagi saya datang kesini jauh dari rumah namun tidak mendapatkan apa-apa!” Itulah perkataan yang aku ingat sampai sekarang dengan perasaan marah didepan cermin kamar mandi.
Setelah itu saya berkeliling untuk menemukan sesuatu yang menarik untuk saya baca. Kemudian saya melihat ruangan yang berisi koran harian, majalah, komik dan novel, salah satu ruangan yang tidak mau saya kunjungi. Dengan iseng saya melihat berbagai judul pada novel yang kebanyakan bertema cinta dan saya melihat buku yang berjudul Musashi Buku Ketiga: Tanah, tetapi saya tidak bisa menemukan edisi pertama dari buku karangan Eiji Yoshikawa. Dengan perasaan terpaksa saya membaca buku ketiga walaupun sudah kusam tapi saya berniat membacanya.
Awal mula saya merasa kesulitan untuk membaca buku itu dilihat dari sisi nama karakter, bahasa penulis dan bahasa masing-masing karakter yang sulit untuk dimengerti. Namun saya tidak ingin menyerah karena saya langsung menyukai buku itu, kemudian saya membayangkan bahwa saya adalah penulisnya, bagaimana pengarang menempatkan pembicaraan antar karakter. Semakin saya membacanya saya semakin tertarik pada buku itu terutama pada karakter Musashi Miyamoto yang terus menjalani Jalan Pedang dan mencari arti hidup yang sebenarnya untuk berusaha lebih baik karena dia selalu merasa belum matang.
Semakin lama saya membacanya, petugas perpustakaan berkata kepadaku, “Maaf, kami sudah mau tutup” Saya terkejut karena tidak mengetahui bahwa hari sudah malam kemudian saya berpikir sejenak bagaimana saya ingin memiliki buku ini. Kemudian saya menemukan ide untuk membeli buku ini dari buku ketiga sampai buku ketujuh, setelah itu saya melakukan negosiasi kepada petugas itu untuk membeli buku Musashi Miyamoto karangan Eiji Yoshikawa dan petugas itu memperbolehkan dengan catatan harga jual setiap buku itu tiga kali lipat dari buku itu karena waktu itu diperbolehkan untuk membeli buku dengan harga tiga kali lipat dan sekarang tidak lagi. Kemudian terjadilah kesepakatan antara kami, setelah saya menerima kwitansi itu, saya mengambil semua buku itu kemudian memasukkanya kedalam tas. Dengan perasaan riang gembira selama bersepeda dan tidak sabar untuk menceritakan semua yang kualami pada hari itu kepada sahabatku bahwa saya sedang gila karena berhasil menemukan novel yang menarik :D
Setelah saya tiba dan menceritakannya kepada sahabatku dengan perasaan yang sangat senang dan seperti orang gila, sahabatku berkata
“Hugeng tenanglah, aku tidak mengerti apa yang kamu mengerti, jadi tenangkan dirimu setelah itu kamu bisa menceritakannya kepadaku semua yang kamu alami hari ini hingga membuatmu merasa gembira”
Kemudian akupun tersenyum dan berusaha menenangkan diri.
Setelah saya menceritakannya, kemudian saya pulang dan melanjutkan membaca buku itu sampai pagi dan membacanya sampai terakhir Buku Ketujuh: Cahaya Sempurna dan terus membacanya berulang-ulang sampai saya kuliah ini pada semester tiga. Saya sempat membaca ulasan tentang Musahi Miyamoto di situs Wikipedia dan menemukan buku yang sempat ditulis Musashi Miyamoto, yaitu Buku Lima Cincin dalam bahasa Inggris. Kalian bisa mengunduhnya melalui tautan yang saya siapkan kepada kalian. Buku ini sangat menarik karena dapat membantu mengubah cara berpikir kita. Dan saya akan sangat merasa senang bila kalian membantu menerjemahkannya kemudian menyebarkannya kepada keluarga atau teman kalian untuk mendapatkan manfaat dari buku karangan Musashi Miyamoto.
Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik hingga sekarang pada buku Musashi karangan Eiji Yoshikawa, yaitu:
Ketika Sado membaca jawaban Musashi, rasa lega menghiasi wajahnya. Surat itu menyatakan:
Saya ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas tawaran Bapak berupa perahu untuk membawa saya ke Funashima. Saya merasa tidak pantas menerima kehormatan seperti itu. Selain itu, saya merasa bahwa saya tidak bisa menerimanya. Saya harap Bapak mempertimbangkan sendiri. Kojiro dan saya berhadapan sebagai lawan, dan ia menggunakan perahu yang disediakan oleh Yang Dipertuan Tadatoshi. Kalau saya pergi ke sana dengan perahu Bapak, akan kelihatan Bapak melawan Yang Dipertuan. Saya pikir tidak pada tempatnya kalau Bapak melakukan sesuatu atas nama saya.
Mestinya saya sampaikan hal ini sebelumnya, tetapi saya memang menahan diri, karena tahu Bapak akan berkeras membantu saya. Daripada melibatkan Bapak, lebih baik saya tinggal di rumah Tarozaemon. Saya akan menggunakan slaah satu perahunya untuk pergi ke Funashima, pada waktu yang menurut saya tepat. Tentang itu Bapak boleh merasa yakin.
Sado begitu terkesan, hingga ia pandangi tulisan itu beberapa waktu lamanya tanpa berkata-kata. Surat itu baik, rendah hati, penuh pertimbangan, penuh tenggang rasa, dan kini ia merasa malu, karena pada hari sebelumnya demikian gelisah.
Lalu ada hal yang membuat saya terkesan dan saya selalu mencontohnya arti dari makna yang ada, yaitu ketika Tarozaemon meminta Musashi untuk membuat lukisan sebelum dia berangkat untuk melawan Sasaki Kojiro.
Musashi berlutut diam seakan bersemadi. Disampingnya terletak kuas, kotak tinta, dan tabung kuas. Satu lukisan sudah diselesaikannya—seekor burung bangau di bawah pohon dedalu. Kertas dihadapannya kini masih kosong. Ia sedang menimbang-nimbang, apa yang akan dilukiskannya. Atau lebih tepat, diam-diam ia sedang mencoba menempatkan diri dalam kerangka pikiran yang benar. Ini penting, sebelum ia dapat membayangkan lukisan itu, atau mengetahui teknik yang akan dipergunakannya.
Ia pandang kertas putih itu sebagai alam semesta kehampaan. Satu guratan saja akan menampilkan kehadiran di dalamnya. Sebetulnya ia dapat membangkitkan hujan atau angin sekehendaknya, tetapi apa pun yang digambarnya, hatinya akan abadi tertinggal dalam lukisan itu. Jika hatinya ternoda, maka lukisan akan ternoda, kalau hatinya lesu, demikian jugalah jadinya lukisan. Kalau ia mencoba memamerkan keterampilan semata, maka ia takkan dapat disembunyikannya. Tubuh manusia melayu, tapi tinta hidup terus. Gambaran hatinya akan terus bernapas, sesudah ia sendiri tiada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Pengunjung yang baik selalu meninggalkan komentar :)